Menjadi Pencinta Alam Sejati
Hidup adalah soal keberanian. Keberanian menghadapi
tanda tanya tanpa kita bisa mengerti, tanpa kita bisa
mengelak. Terimalah dan Hadapilah (Soe Hok Gie)
Gila! Barangkali itulah anggapan sebagian orang bila
memandang sekelompok pemuda yang menghabiskan waktunya
di lereng dan puncak gunung, di kedalaman gua-gua
bumi, atau di kedalaman samudera. Wajah mereka lusuh,
kumal, gondrong, dan tak jarang tampil nyentrik dan
nyeleneh. Bila ada manusia yang mau mengenakan
klenengan sapi, barangkali hanya merekalah orangnya.
Itulah wajah pecinta alam. Sesuai namanya, mereka
menamakan dirinya manusia yang mencintai alam baik
gunung, laut, bukit, gua, padang belantara, dan
sebagainya. Tahukah kamu bagaimana semua itu bisa
terjadi?
Dirunut-runut sih sebetulnya sejarah manusia tidak
jauh-jauh amat dari alam. Sejak zaman prasejarah
dimana manusia berburu dan mengumpulkan makanan, alam
adalah "rumah" mereka. Gunung adalah sandaran kepala,
padang rumput adalah tempat mereka membaringkan tubuh,
dan gua-gua adalah tempat mereka bersembunyi.
Namun sejak manusia menemukan kebudayaan, yang katanya
lebih "bermartabat", alam seakan menjadi barang aneh.
Manusia mendirikan rumah untuk tempatnya bersembunyi.
Manusia menciptakan kasur untuk tempatnya membaringkan
tubuh, dan manusia mendirikan gedung bertingkat untuk
mengangkat kepalanya. Manusia dan alam akhirnya
memiliki sejarahnya sendiri-sendiri.
Ketika keduanya bersatu kembali, itulah saatnya
sejarah pecinta alam dimulai.